Aku memperhatikan laki-laki yang sedang menyantap makanannya itu dengan lahap. Dia tak sadar kalau aku memperhatikannya. Hingga kini, setelah setahun pernikahanku, aku masih tak bisa menerima kenyataan tentang statusku yang telah menjadi seorang istri. Aku bukan istri yang baik karena sampai kini aku masih tak bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri. Aku mengurusi keperluanku dan dia mengurusi dirinya sendiri. Kami memang tinggal serumah tapi tidur di kamar yang berbeda dengan kata lain kalau kami tak pernah bersentuhan layaknya suami istri. 

Tak ada yang tahu tentang kehidupan rumah tanggaku karena kami sepakat menutupnya rapat-rapat. Sebisa mungkin aku berusaha tampil tertutup di depannya agar tak mengusik nalurinya sebagai lelaki yang konon gampang tergoda hanya dengan melihat saja. Ia tak pernah memintaku apalagi memaksaku untuk melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Ia menghargai apapun keputusanku karena ia tahu ini adalah pernikahan yang tak pernah kuinginkan. 

Pernikahanku memang bukan karena cinta bukan pula karena umurku yang telah menginjak kepala tiga tapi karena aku terjebak dalam rasa terpaksa dan ingin menjaga nama baik keluarga. Saat itu kakak perempuanku yang telah bertunangan, pergi dengan laki-laki lain tepat menjelang hari pernikahannya. Kami semua panik dan mencarinya kemana-mana tapi tak juga menemukannya. Beberapa jam menjelang pernikahan sang calon mempelai datang menghampiriku dan tertunduk di hadapanku. Aku terkejut ketika mendengar permintaannya. Ia memintaku untuk menggantikan posisi Rifa kakakku sebagai mempelai perempuan. 

Mulanya aku marah, marah akan kelancangan kak Rifa yang seolah-olah telah menjebakku seperti ini. Aku juga kecewa pada orang tuaku yang juga menginginkan hal yang sama, menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak pernah kuimpikan hanya untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tentu saja marah pada laki-laki yang tiba-tiba saja datang memintaku untuk menjadi istrinya. Sama sekali tak ada yang mendukungku untuk menolak pinangan itu, pun dengan alasan kalau aku tak mencintainya. Bagi mereka cinta bisa datang karena kebersamaan. Sungguh aku merasa hidupku seolah hancur berantakan, tak mampu membayangkan hidup bersama laki-laki yang tak kucintai sama sekali. Aku tak punya pilihan lain, rasanya aku ingin melarikan diri dari tempat itu tapi aku tak mampu melakukannya. Aku hanya bisa pasrah, pasrah pada takdir yang telah membuatku seperti itu. 

Detik-detik menjelang pernikahan itu seperti mimpi buruk bagiku. Aku tak kuasa melawannya terlebih mengingat kedua orang tuaku yang akan menanggung malu jika pernikahan ini batal. Para undangan mulai berdatangan dan akad nikah pun dimulai. Tubuhku serasa kaku sedang hatiku dingin seperti tersiram air es. Kulihat laki-laki itu dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Aku sendiri duduk terpaku dengan mulut terkunci sambil terus meneteskan air mata. 

Babak baru kehidupan pernikahanpun dimulai. Tak ada malam pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Yang ada hanya gambaran kehidupan antara dua orang asing yang hidup serumah tanpa ikatan cinta. Masih kuingat dengan jelas hari-hari pertama pernikahan kami ketika masih tinggal di rumah orang tuaku. Setiap malam menjelang, aku akan menaruh pisau lipat, gunting dan barang tajam lainnya di dekat tempat tidurku dan aku selalu mengancam laki-laki itu jika dia berani macam-macam padaku. 

Beberapa kali aku memintanya untuk menikah lagi dan meninggalkanku tapi Ia selalu menjawab kalau Ia belum siap. Dan bagiku jawabannya itu sangat menyiksaku karena aku benar-benar ingin lepas darinya. Lepas dari kehidupan pernikahan tanpa cinta yang membuatku seakan kehilangan gairah hidup. 

Hidup di rumah laki-laki yang tak kucintai seperti penjara bagiku meski Ia tak pernah melarangku untuk keluar rumah dan bergaul dengan teman-temanku. Tak ada istilah rumahku surgaku seperti impianku dulu, yang ada hanyalah rumah yang asing, dingin dan hambar. Rasanya aku ingin pergi dari rumah itu tapi tak tahu harus kemana. Aku tak mungkin kembali ke rumah orang tuaku atau ke rumah famili yang lain. 

Hingga suatu hari aku keluar kota karena ada acara reuni bersama teman-teman semasa kuliah dulu. Aku merasakan perasaan yang lain ketika jauh dari rumah suamiku. Seminggu lamanya aku tak berada di rumah itu dan entah kenapa aku ingin sekali pulang. Rasa kesepian yang kerap kurasakan jika berada di rumah laki-laki itu seolah-olah memanggilku untuk pulang. 

Tak lama kemudian aku mendapat telepon dari ibuku untuk segera pulang tapi anehnya beliau menyuruhku untuk pulang ke rumah ibu bukannya ke rumah suamiku. Aku langsung menuju rumah ibuku. Disitu kulihat ibu sedang termenung, kutatap matanya ada kelabu disana. Ibu menarik lenganku dan mengatakan kalau Ia ingin mengajakku ke suatu tempat. Aku heran tidak biasanya ibu seperti itu. 

Aku merasakan dadaku sesak dan pandanganku kabur oleh pedihnya air mata ketika kulihat gundukan tanah merah dengan nisan yang bertuliskan nama suamiku. Kanker otak yang lama dideritanya telah membawanya pergi untuk selama-lamanya. Aku sendiri tak pernah tahu tentang sakit yang dideritanya itu. Dan catatan terakhir dari suamiku membuatku tak sadarkan diri. 

Maafkan aku yang telah memaksamu menjadi istriku. Mungkin kau tak pernah tahu kalau aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Namun rupanya hatimu terlalu beku untuk kusentuh hingga rasa bersalah terus menghujamku. Aku hanya ingin kau bahagia….bahagia dengan ketiadaanku.
Selengkapnya.....



Ini adalah pengalamanku beberapa bulan yang lalu saat suami mengajakku untuk mengunjungi sebuah tempat wisata di daerah Gowa. Sebenarnya kunjungan itu dalam rangka agenda rapat kantor tempat suami bekerja namun karena suasana yang begitu nyaman, agenda rapatpun berubah menjadi acara refreshing. Suasana teduh dan tenang saat duduk di bawah pohon yang tumbuh lebat membuat niat diskusi menjadi ajang senda gurau. Belum lagi terdapat kolam renang yang seolah memanggil-manggil untuk segera berenang.

Putri kecilku yang saat itu ikut bersamaku langsung sumringah menatap jernihnya air kolam. Dengan rasa tak sabar ia menarik-narik lenganku agar segera membawanya ke dalam kolam. Betapa gembiranya putriku bisa berendam berlama-lama di dalam kolam apalagi banyak anak-anak lainnya yang tengah bermain air. Saat hari menjelang sore, putri kecilku tak mau meninggalkan kolam dan menangis sejadi-jadinya saat aku menggendongnya. Dengan alasan mandi bola di arena bermain akhirnya anakku berhenti menangis dan begitu senangnya dia saat aku membawanya ke tempat bermain. Aneka bentuk permainan ada disitu dan semua anak bisa bermain sepuasnya.

Terlepas dari pengalamanku diatas, potensi wisata kebun Kab. Gowa sangat menjanjikan. Hal ini dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang ke tempat itu terutama pada saat hari libur. Jika hari-hari biasa pengunjung tak terlalu banyak namun jika hari Sabtu-Minggu atau hari libur nasional tiba, pengunjung seolah tumpah ruah di tempat itu. Para pengunjung berdatangan dengan rombongan anak-anak dan orang tua. Dengan membawa bekal masing-masing, para pengunjung mulai memadati kolam renang dan arena bermain anak. Bapak-bapak yang hobi memancing langsung melangkahkan kakinya menuju tempat pemancingan ikan. Beberapa anak juga mulai menjajaki arena track mini yang tersedia di tempat itu.

Jadi, jika anda menyukai rindangnya pepohonan dan teduhnya taman buah, maka wisata kebun Gowa-lah tempatnya. Daerah wisata ini terletak di jalan poros Malino Kab. Gowa. Tempat satu ini memiliki daya tarik tersendiri dan bisa dijadikan alternatif wisata favorit keluarga.
Tak hanya rindang, wisata kebun ini menyediakan fasilitas berupa arena bermain, kolam renang, tempat memancing, mini track, restoran juga tempat penginapan. Bagi pengunjung yang suka memancing bisa menyalurkan hobinya memancing karena alat pancing dan umpan sudah disediakan di tempat ini.

Seperti namanya, wisata kebun ini banyak ditumbuhi pepohonan dan aneka macam bunga. Buah-buahan seperti rambutan, mangga, nanas, pepaya, jeruk dan lain-lain tumbuh subur di kawasan ini. Berdasarkan keterangan karyawan setempat saat musim buah tiba, pengelola menjualnya kepada para pengunjung yang bisa langsung menikmatinya di tempat itu.

Wisata kebun ini memiliki banyak kelebihan karena menyediakan banyak sarana hiburan. Hanya dengan membayar tiket masuk sebesar Rp. 25.000 untuk hari Sabtu-Minggu dan Rp. 15.000 pada hari biasa, kita dapat menikmati fasilitas hiburan sepuasnya. Jika ingin menginap, pengunjung bisa menyewa villa yang tersedia di tempat ini. Disini juga tersedia restoran yang penyajian makanannya sampai pagi jadi bagi wisatawan yang menginap bisa makan sepuasnya.

Banyaknya pengunjung yang datang saat musim libur tiba menjadikan areal wisata ini menjadi sempit karena memadatnya wisatawan. Ada baiknya jika pihak pengelola dan pemerintah setempat bekerja sama dengan memperluas areal wisata agar pengunjung bisa leluasa menikmati sarana hiburan yang ada. Berhubung tempat wisata ini baru beroperasi selama tiga tahun, ada baiknya dilakukan promosi online dan pembuatan brosur wisata agar kebun wisata ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan tapi juga masyarakat Indonesia. Dengan demikian kawasan wisata ini bisa menjadi tempat wisata favorit keluarga.
Selengkapnya.....


Tanjung Bira, sebuah pantai di pesisir selatan pulau Sulawesi yang memiliki pesona pasir putih dengan airnya yang jernih serta pemandangan yang menyejukkan mata. Aroma khas air laut dan pasir basah selalu berhasil memancing keinginan para pengunjung untuk segera menceburkan diri ke laut.

Sejak pertama kali mengunjungi Tanjung Bira, aku merasakan kekaguman yang luar biasa. Pantai berpasir putih nan elok dengan pemandangan yang indah membuat pengunjung merasa 'tak salah pilih' ketika memutuskan untuk mengunjungi tempat itu.

Tidak seperti pantai lainnya, pantai Tanjung Bira ini memiliki partikel pasir yang lebih kecil dengan tekstur yang halus sehingga terasa lembut ketika kita berjalan diatas pasirnya. Kebersihan pantainya pun selalu terjaga sehingga membuat kita enggan untuk membuang sampah sembarangan.

Secara geografis, Tanjung Bira terletak di sebelah selatan provinsi Sulawesi Selatan. Sekitar 40 km dari kota Bulukumba atau 200 km dari kota Makassar. Kawasan wisata Tanjung Bira dapat ditempuh dengan menggunakan mobil dengan waktu tempuh sekitar 4-5 jam dari Makassar. Dapat pula ditempuh dengan menggunakan angkutan umum dari Makassar ke Bulukumba dengan tarif Rp. 40.000. Untuk menuju Tanjung Bira menggunakan mikrolet yang banyak ditemui di Bulukumba dengan tarif Rp. 10.000. Bagi setiap pengunjung dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp. 5.000.

Kawasan wisata Tanjung Bira menyediakan sarana tempat penginapan berupa hotel, villa, bungalow dan restoran. Masing-masing penginapan memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Jadi, pengunjung bisa memilih tempat penginapan sesuai dengan keinginannya. Sarana penunjang seperti telekomunikasi pun tergolong lancar. Di kawasan ini juga tersedia peralatan diving dan snorkling. Bagi para pengunjung yang ingin membersihkan diri setelah berenang di pantai, disediakan air tawar dan kamar mandi umum. Dan bagi wisatawan yang ingin berkeliling sepanjang pantai, tersedia pula penyewaan kapal motor dengan tarif Rp. 65.000.

Tanjung Bira merupakan salah satu aset wisata Sulawesi Selatan yang sangat diandalkan. Daerah ini telah ditata apik sehingga menjadikannya sebagai kawasan wisata yang terkenal di dalam dan luar negeri. Pengujungnya terdiri dari wisatawan domestik dan mancanegara. Tak jarang ditemui wisatawan asing yang menginap selama berhari-hari di daerah wisata ini. Hal ini menandakan bahwa Tanjung Bira memiliki pesona luar biasa hingga membuat pengunjung betah berlama-lama berada di tempat itu.

Untuk mengoptimalkan potensi wisata Tanjung Bira dapat dilakukan dengan cara promosi online, pembuatan brosur wisata ataupun dengan menggelar pameran budaya. Hal ini bertujuan untuk menarik minat pengunjung untuk berwisata di Tanjung Bira. Dengan demikian kawasan wisata Tanjung Bira lebih dikenal lagi oleh masyarakat di dalam dan luar negeri.

Tanjung Bira tidak hanya menyediakan potensi wisata yang sangat besar, masyarakatnya pun turut andil dalam mewujudkan daerah ini sebagai tempat wisata. Kreatifitas masyarakat dapat dilihat dari adanya kerajinan tangan yang terbuat dari aneka kulit kerang, patahan karang dan lain-lain. Aneka bahan yang bersumber dari laut tersebut dikemas begitu rupa hingga membentuk benda aneka rupa. Benda-benda hasil kreasi masyarakat itu kemudian dijual di sepanjang jalan menuju pantai Tanjung Bira. Pengunjung pun menjadikannya sebagai buah tangan yang wajib dibawa pulang sebagai oleh-oleh tanda mata dari Tanjung Bira.

Berjalan diatas pasir putih Tanjung Bira sambil menunggu matahari terbenam di ufuk barat merupakan moment yang sangat dinanti oleh para wisatawan. Begitu pula denganku yang tengah mengisi waktu liburan akhir tahun. Lembayung jingga di cakrawala berpadu dengan semilir angin sore dan lembutnya pasir putih, seakan membisikkan kata untuk segera kembali menikmati indahnya pesona Tanjung Bira.

Selengkapnya.....

Aku memperhatikan laki-laki yang sedang menyantap makanannya itu dengan lahap. Dia tak sadar kalau aku memperhatikannya. Hingga kini, setelah setahun pernikahanku, aku masih tak bisa menerima kenyataan tentang statusku yang telah menjadi seorang istri. Aku bukan istri yang baik karena sampai kini aku masih tak bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri. Aku mengurusi keperluanku dan dia mengurusi dirinya sendiri. Kami memang tinggal serumah tapi tidur di kamar yang berbeda dengan kata lain kalau kami tak pernah bersentuhan layaknya suami istri.

Tak ada yang tahu tentang kehidupan rumah tanggaku karena kami sepakat menutupnya rapat-rapat. Sebisa mungkin aku berusaha tampil tertutup di depannya agar tak mengusik nalurinya sebagai lelaki yang konon gampang tergoda hanya dengan melihat saja. Ia tak pernah memintaku apalagi memaksaku untuk melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Ia menghargai apapun keputusanku karena ia tahu ini adalah pernikahan yang tak pernah kuinginkan.

Pernikahanku memang bukan karena cinta bukan pula karena umurku yang telah menginjak kepala tiga tapi karena aku terjebak dalam rasa terpaksa dan ingin menjaga nama baik keluarga. Saat itu kakak perempuanku yang telah bertunangan, pergi dengan laki-laki lain tepat menjelang hari pernikahannya. Kami semua panik dan mencarinya kemana-mana tapi tak juga menemukannya. Beberapa jam menjelang pernikahan sang calon mempelai datang menghampiriku dan tertunduk di hadapanku. Aku terkejut ketika mendengar permintaannya. Ia memintaku untuk menggantikan posisi Rifa kakakku sebagai mempelai perempuan.

Mulanya aku marah, marah akan kelancangan kak Rifa yang seolah-olah telah menjebakku seperti ini. Aku juga kecewa pada orang tuaku yang juga menginginkan hal yang sama, menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak pernah kuimpikan hanya untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tentu saja marah pada laki-laki yang tiba-tiba saja datang memintaku untuk menjadi istrinya. Sama sekali tak ada yang mendukungku untuk menolak pinangan itu, pun dengan alasan kalau aku tak mencintainya. Bagi mereka cinta bisa datang karena kebersamaan. Sungguh aku merasa hidupku seolah hancur berantakan, tak mampu membayangkan hidup bersama laki-laki yang tak kucintai sama sekali. Aku tak punya pilihan lain, rasanya aku ingin melarikan diri dari tempat itu tapi aku tak mampu melakukannya. Aku hanya bisa pasrah, pasrah pada takdir yang telah membuatku seperti itu.

Detik-detik menjelang pernikahan itu seperti mimpi buruk bagiku. Aku tak kuasa melawannya terlebih mengingat kedua orang tuaku yang akan menanggung malu jika pernikahan ini batal. Para undangan mulai berdatangan dan akad nikah pun dimulai. Tubuhku serasa kaku sedang hatiku dingin seperti tersiram air es. Kulihat laki-laki itu dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Aku sendiri duduk terpaku dengan mulut terkunci sambil terus meneteskan air mata.

Babak baru kehidupan pernikahanpun dimulai. Tak ada malam pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Yang ada hanya gambaran kehidupan antara dua orang asing yang hidup serumah tanpa ikatan cinta. Masih kuingat dengan jelas hari-hari pertama pernikahan kami ketika masih tinggal di rumah orang tuaku. Setiap malam menjelang, aku akan menaruh pisau lipat, gunting dan barang tajam lainnya di dekat tempat tidurku dan aku selalu mengancam laki-laki itu jika dia berani macam-macam padaku.

Beberapa kali aku memintanya untuk menikah lagi dan meninggalkanku tapi Ia selalu menjawab kalau Ia belum siap. Dan bagiku jawabannya itu sangat menyiksaku karena aku benar-benar ingin lepas darinya. Lepas dari kehidupan pernikahan tanpa cinta yang membuatku seakan kehilangan gairah hidup.

Hidup di rumah laki-laki yang tak kucintai seperti penjara bagiku meski Ia tak pernah melarangku untuk keluar rumah dan bergaul dengan teman-temanku. Tak ada istilah rumahku surgaku seperti impianku dulu, yang ada hanyalah rumah yang asing, dingin dan hambar. Rasanya aku ingin pergi dari rumah itu tapi tak tahu harus kemana. Aku tak mungkin kembali ke rumah orang tuaku atau ke rumah famili yang lain.

Hingga suatu hari aku keluar kota karena ada acara reuni bersama teman-teman semasa kuliah dulu. Aku merasakan perasaan yang lain ketika jauh dari rumah suamiku. Seminggu lamanya aku tak berada di rumah itu dan entah kenapa aku ingin sekali pulang. Rasa kesepian yang kerap kurasakan jika berada di rumah laki-laki itu seolah-olah memanggilku untuk pulang.

Tak lama kemudian aku mendapat telepon dari ibuku untuk segera pulang tapi anehnya beliau menyuruhku untuk pulang ke rumah ibu bukannya ke rumah suamiku. Aku langsung menuju rumah ibuku. Disitu kulihat ibu sedang termenung, kutatap matanya ada kelabu disana. Ibu menarik lenganku dan mengatakan kalau Ia ingin mengajakku ke suatu tempat. Aku heran tidak biasanya ibu seperti itu.

Aku merasakan dadaku sesak dan pandanganku kabur oleh pedihnya air mata ketika kulihat gundukan tanah merah dengan nisan yang bertuliskan nama suamiku. Kanker otak yang lama dideritanya telah membawanya pergi untuk selama-lamanya. Aku sendiri tak pernah tahu tentang sakit yang dideritanya itu. Dan catatan terakhir dari suamiku membuatku tak sadarkan diri.

Maafkan aku yang telah memaksamu menjadi istriku. Mungkin kau tak pernah tahu kalau aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Namun rupanya hatimu terlalu beku untuk kusentuh hingga rasa bersalah terus menghujamku. Aku hanya ingin kau bahagia….bahagia dengan ketiadaanku.
Selengkapnya.....

Ini adalah kisahku setahun yang lalu, yang jika mengingatnya saja bisa membuat air mataku tumpah. Dan dengan mata berkaca-kaca kutulis pengalaman hidupku ini sekedar berbagi untukmu para wanita.

Memiliki buah hati adalah impian setiap orang yang sudah memasuki jenjang pernikahan. Begitupun denganku, hari-hariku dipenuhi dengan doa agar aku segera mendapat momongan. Dan Allah Maha Besar. Dia mengabulkan doaku karena beberapa lama kemudian aku dinyatakan hamil. Seperti pada umumnya perempuan hamil akan mengalami masa-masa ngidam yang berbeda antara wanita yang satu dengan yang lainnya. Begitupun denganku, meski pengalamanku agak lain. Waktu itu menjelang Hari Raya Idul Fitri dan aku mulai mengalami gejala-gejala layaknya perempuan ngidam. Aku tetap menjalankan ibadah puasa meski hanya sahur dengan ubi dan pisang rebus dan berbuka pun hanya dengan menu itu. Nasi menjadi makanan yang aneh rasanya dilidahku apalagi sayur hijau. Saat itu, dimataku semua jenis sayur terlebih bayam seolah berubah menjadi rumput liar. Melihatnya saja sudah cukup membuatku mual. Jadi tak ada lagi menu nasi dan ikan apalagi sayur hijau.

Sungguh, masa ngidam itu begitu sulit bagiku. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah menguatkan hatiku dalam menjalani masa ngidam ini. Tak ada makanan yang benar-benar bisa kumakan dengan tanpa memuntahkannya kembali. Segala jenis aroma selalu membuatku mual, mulai dari aroma ikan goreng, ikan bakar, asap rokok, bau kulkas yang dibuka, bau sampah dan bau parfum juga semua jenis makanan yang enak dilidah seperti sate, ayam, bakso selalu membuat isi perutku ingin keluar semua.

Aku semakin lemah karena makanan pokok tak juga mau berdamai dengan perutku. Alhasil buah menjadi menu pokok harianku. Dari buah jambu air yang jadi menu makan pagi, siang dan malam. Kemudian berganti apel, jambu monyet yang saat itu lagi musim. Berapa hari kemudian aku hanya bisa makan mentimun dan pepaya. Tak lama makan siangku ditemani buah semangka dan mangga muda kemudian cirkaya, seperti itulah keadaanku selama berminggu-minggu dan sungguh semua itu membuatku lemah.

Hari-hari yang sulit itupun kujalani. Jangankan makanan, air putih pun sering membuatku muntah. Entahlah, mengapa aku seperti itu padahal yang kudengar dari cerita orang kalau masa ngidam tidaklah sesulit itu. Aku pasrah, pasrah menjalani semuanya sendiri tanpa suami. Ah, aku lupa aku juga selalu mual jika berdekatan dengan suamiku. Dimataku seluruh badannya itu penuh dengan asap rokok dan dengan hanya menciumnya dari jauh saja sudah membuat kepalaku pusing dan mual. Jadi aku lebih suka kalau ia tinggal saja di Makassar. Tak ada asupan gizi seimbang saat itu, tak ada protein, asam folat, zat besi karena aku sangat membenci minuman yang bernama susu. Susu hanya membuat perutku seperti diobok-obok. Parahnya suamiku tak yakin akan hal itu, Ia terus mengontrol jadwal minum susu dari jauh dan paling sering alasanku pura-pura lupa. Hingga suatu hari badanku yang kurus semakin lemah. Aku tak mampu berdiri apalagi berjalan karena sejak pagi tak ada makanan yang bisa kumakan. Aku merangkak keluar kamar dan terkulai lemas tak sadarkan diri di depan pintu. Seisi rumah histeris melihatku terkulai tak berdaya seperti itu.

Aku semakin kurus, badanku kian melemah dan mataku makin cekung menyisakan tanda hitam di kelopak mata. Itu artinya aku mulai mengalami gejala dehidrasi. Aku hanya mampu berbaring di tempat tidur tanpa mampu berbuat apa-apa. Mataku hanya mampu menatap daun-daun hijau di luar jendela sambil berharap agar semuanya cepat berlalu. Bagiku detik telah berubah menjadi jam dan jam berubah menjadi hari. Betapa lamanya masa ngidam ini berlalu. Satu yang kusyukuri bahwa aku masih mampu menjalankan kewajibanku untuk shalat lima waktu.

Episode ngidam pun berlalu, alhamdulillah aku sudah bisa makan seperti biasanya meskipun tidak semua jenis makanan bisa kujamah. Tapi tak apalah setidaknya aku bisa makan makanan bergizi dan mulai memaksakan diri untuk minum susu. Hingga usia kandunganku memasuki minggu kesekian, aku memutuskan untuk berangkat ke Makassar. Dengan berat hati aku meninggalkan kampungku mengikuti keinginan suami dan keluarga besarnya. Yah aku pasrah, dalam keadaan seperti itu apalagi menghadapi persalinan nanti, aku ingin sekali berada disamping ibuku.


Hari itu aku merasakan gerakan yang amat lincah dari perutku. Gerakan menendang disana sini nampak menonjol dari luar membuat tanganku refleks mengelusnya. Menjelang sore gerakannya melemah hanya berupa geliat-geliat kecil saja. Malamnya aku mulai mendapatkan tanda bercak darah dan itu menandakan waktu persalinan semakin dekat. Tengah malam aku, suami dan mertua perempuanku ke rumah sakit bersalin. Mulanya aku tenang-tenang saja tapi memasuki ruang bersalin aku merasakan sedih luar biasa. Suami dan mertuaku keluar dari kamar bersalin dan aku ditinggal sendirian. Aku berbaring dengan sedikit ketakutan. Seorang bidan datang melakukan pemeriksaan dalam dan dia mengatakan baru pembukaan satu. Kulihat seorang perempuan merintih-rintih kesakitan, disampingnya ada seorang perempuan paruh baya yang membelai rambutnya dengan sayang dan berusaha menenangakan anaknya yang terus merintih kesakitan. Melihat itu tangisku pun meledak. Seorang bidan datang mendekati dan bertanya mengapa aku menangis. Aku menjawabnya dengan terpatah-patah. Aku bilang kalau aku ingat ibuku. Aku ingin ibuku ada disini menemani proses persalinananku, menguatkanku dan menenangkanku menghadapi semuanya. Bidan itu menyarankan agar aku menelpon ibu. Kudengar suara ibuku di seberang sana mencoba menenangkanku. Rencananya ibuku akan datang beberapa hari lagi berhubung kapal yang akan ditumpanginya agak terlambat.

Malam itu aku tak dapat tidur sekejap pun karena wanita di sampingku terus merintih kesakitan. Hingga pagi menjelang aku tak dapat tidur sama sekali terganggu oleh suara rintihannya yang semakin menjadi. Aku keluar kamar bersalin dan berjalan-jalan di koridor rumah sakit itu. Tak lama kudengar tangisan memecah kesunyian pagi itu. Rupanya perempuan itu telah melahirkan walau dengan kondisi payah akibat kekurangan tenaga. Aku mengucap syukur turut bahagia atas kelahiran bayinya. Hingga siang menjelang aku terus berjalan mengelilingi koridor rumah sakit dan hanya duduk beberapa menit saja. Kata bidan duduk tak baik bagi perempuan yang akan melahirkan dan saran itu kupatuhi. Karena capek aku kembali masuk ke ruang bersalin dan melakukan pemeriksaan dalam lagi. Hasilnya masih pembukaan satu. Aku membaringkan diri di ranjang dan tertidur. Aku terbangun mendengar suara gaduh di luar. Rupanya ada pasien yang akan melahirkan, aku bergegas keluar kamar tak tahan mendengar tangis dan rintihan perempuan itu. Begitulah seterusnya setiap kali ada pasien yang akan melahirkan aku akan keluar dari kamar bersalin itu.

Sudah dua hari aku berada di rumah sakit bersalin itu tapi masih belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Para bidan mengatakan kalau aku terlalu cepat ke rumah sakit. Aku tak tahu sebab ini adalah pengalamanku yang pertama. Aku masih saja tinggal di ruang bersalin dan mondar mandir di ruangan itu. Aku merasa risih sebab setiap kali ada pasien, aku harus menggeser tempat tidurku. Ranjang pertama untuk perempuan yang siap melahirkan, kedua untuk perempuan yang sudah pembukaan sekian. Begitu seterusnya. Sebelumnya aku menempati ranjang kedua sebagai pasien kedua yang masuk tapi karena hanya aku yang masih pembukaan satu maka aku menempati ranjang terakhir. Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang kualami semakin bertambah-tambah tapi masih saja belum ada perubahan pembukaan. Dan karena seringnya pemeriksaan dalam, aku mengeluarkan banyak darah seperti layaknya wanita yang sedang haid. Aku sempat memberitahu bidan tapi mereka hanya menjawab santai, ah itu sudah biasa.

Hari itu aku begitu lelah karena aku menjadi susah tidur sejak berada di rumah sakit. Rasa sakit yang makin bertambah-tambah membuatku tak bisa tidur. Dengan memaksakan diri aku terus berjalan keliling koridor rumah sakit sambil menghentak-hentakkan kaki, konon katanya berjalan membuat kandungan cepat turun dan mudah terjadi pembukaan. Rasa sakit tak membuatku surut untuk terus berusaha. Keringat terus membasahi baju yang kukenakan. Pagi, siang, malam bahkan subuh pun aku berjalan mengelilingi koridor rumah sakit yang sunyi ditemani oleh suami yang terbaring sendirian di bangku koridor. Orang-orang mulai memperhatikanku dan tak sedikit dari mereka menatapku sambil berbisik-bisik. Seorang ibu yang kasihan melihatku berkata kalau aku tak usah memaksakan diri seperti itu karena berjalan tanpa istrahat hanya membuat badan semakin lemah padahal aku harus kuat menghadapi persalinan nanti.

Setiap kali ada pasien, aku akan keluar dari ruang bersalin dan bersandar di dinding sambil berdoa akan keselamatan ibu dan bayinya. Dan tiap kali mendengar tangisan bayi dadaku menjadi sesak menahan isak. Bagaimana tidak, aku yang sudah dua hari di rumah sakit belum juga melahirkan sedang wanita-wanita itu begitu mudahnya melahirkan tak sampai hitungan jam. Mereka hanya disuruh berjalan 10 menit kemudian masuk ke kamar bersalin dan langsung melahirkan. Ya Allah, ada apa dengan diriku. Mengapa belum ada perubahan padahal aku sudah merasakan sakit yang luar biasa. Dalam sedihku, aku kembali berjalan mengelilingi koridor rumah sakit melewati bangsal dan kamar-kamar pasien. Tak jarang aku mengintip bayi-bayi mungil yang sedang tertidur pulas. Dimana ada kamar dengan pintu terbuka maka disitulah aku berdiri menyaksikan makhluk kecil yang masih memerah dan sungguh, pemandangan itu selalu mampu membuat mataku berkaca-kaca.
Hari itu adalah hari Jumat, hari ketiga aku berada di rumah sakit bersalin itu. Rencananya kami akan pulang saja tapi bidan menyarankan untuk tetap tinggal. Aku menurut saja dan akhirnya kami menempati bangsal kosong yang berdebu. Tak apalah daripada harus berada di ruang bersalin yang semakin membuatku tertekan. Menjelang tengah hari aku dipanggil oleh seorang perawat untuk melakukan pemeriksaan. Untuk kesekian kalinya aku melakukan pemeriksaan dalam yang cukup menyakitkan itu dan hasilnya adalah pembukaan tiga. Aku senang sekali mendengarnya. Kata bidan kalau sudah pembukaan tiga maka pembukaan selanjutnya akan segera menyusul dan itu artinya dalam hitungan beberapa jam aku akan melahirkan. Aku kembali bersemangat dan rasa sedihku pun hilang seketika. Pembukaan bertambah artinya rasa sakit yang kurasakan juga semakin sering dan bertambah sakit. Seorang bidan menyuruhku untuk kembali ke ruang bersalin. Wajahku semakin pucat dan keringat bercucuran menahan rasa sakit yang amat sangat karena makin lama kontraksi itu makin sering dan panjang hanya selang beberapa menit saja. Zikirku makin lama makin lemah. Waktu menunjukkan tepat pukul tiga dan itu saatnya aku harus melakukan pemeriksaan lagi. Dalam keadaan normal pembukaan terus meningkat dalam hitungan jam dan harusnya sudah mencapai pembukaan ketujuh. Tapi apa yang dikatakan bidan setelah pemeriksaan itu membuatku kaget. Hasil pemeriksaan adalah pembukaan dua. Masih pembukaan dua. Ya Allah apa yang terjadi padaku bukankah sebelumnya sudah pembukaan tiga? Mengapa kembali ke pembukaan dua. Aku menangis tak tahu harus berkata apa. Salah seorang kerabat meminta bidan untuk menghubungi dokter dan melaporkan keadaanku. Aku harus menunggu beberapa jam sebelum dokter itu datang. Aku dibawa ke ruang periksa untuk USG dan hasilnya sangat mengejutkan. Dokter mengatakan kalau ada dua lilitan di leher bayiku, itulah sebabnya tidak terjadi pembukaan. Dia menyarankan untuk segera operasi sebab kelahiran normal amat beresiko.

Persiapan operasi pun segera dilakukan. Perutku semakin sakit dengan kontraksi yang makin bertambah kuat. Aku terbaring lemah dalam sakit yang luar biasa. Air mataku menetes mengingat sebentar lagi aku akan menjalani proses operasi. Tak pernah terlintas dibenakku akan hal seperti ini. Persalinan normal itulah harapanku tapi dalam kondisi seperti ini aku tak mampu berbuat apa-apa. Ya Allah, jika semua ini adalah teguranMU karena dosa-dosaku yang lalu, maka ampunilah aku. Kini aku pasrah, pasrah pada kehendakNYA. Dalam sakitku aku teringat berbagai macam petuah-petuah untuk memudahkan persalinan, doa-doa dan ayat-ayat suci yang sering kubaca. Semuanya kulakukan untuk mempermudah persalinanku nantinya dan ternyata aku salah. Allah menunjukkan kebesaranNYA. Petuah, doa-doa dan ayat-ayat suci haruslah Lillahi Ta’ala bukan untuk alasan apapun juga termasuk untuk sebuah persalinan. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, itulah intinya karena hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. La Haula Walaa Quwwata Illa Billah, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Aku merasakan ketenangan ketika menyadari kesalahanku dan memohon ampun padaNYA. Dan ketika aku dibawa ke ruang operasi ketakutanku lenyap sudah. Aku telah menyerahkan semuanya padaNYA. Apapun yang terjadi nantinya, aku pasrah. Dalam keadaan setengah sadar kudengar tangis bayiku yang kencang. Alhamdulillah, anakku telah lahir. Belakangan kutahu kalau lilitan di lehernya bukan hanya dua tapi tiga lilitan dan lilitan itu membuat badannya sedikit membiru saat keluar. Puji syukur padaMU ya Allah atas keselamatan yang Engkau berikan pada kami berdua. Senyumku merekah mencoba melupakan kesulitanku yang lalu. Akulah wanita yang sempat menjadi perhatian semua orang di rumah sakit bersalin itu, pasien kesepuluh yang melahirkan setelah tiga hari berada di rumah sakit dan satu-satunya pasien yang melahirkan dengan proses operasi caesar.

Mengenang setahun kelahiran Siti Nabilah Resky
Selengkapnya.....

Mengurus anak kecil selalu punya cerita tersendiri kadang panik karena mendengar suara tangisnya yang tiba-tiba dan makin menjadi-jadi namun tidak jarang ada hal-hal lucu yang terjadi begitu saja seperti pengalamanku pada minggu-minggu pertama kelahiran anak pertamaku. Seperti pada umumnya, bayi yang berumur dibawah empat puluh hari selalu rewel di malam hari begitu pula dengan bayiku. Alhasil saya dan suami giliran menjaganya. Kejadian lucu selalu terjadi pada malam hari seperti waktu itu, anak saya tiba-tiba menangis. Saya terbangun lalu menggendongnya. Rupanya suami saya juga terbangun dan tanpa membuka mata dia mengambil sebuah bantal lalu menggendongnya sambil diayun-ayun tidak ketinggalan bibirnya ber 'us-us' dengan gaya seperti biasanya. Saya mencoba memberitahu sambil berbisik takut anak kami terbangun.

Untuk beberapa menit lamanya saya hanya bisa menahan tawa sambil menatap ekspresi wajah suamiku yang berusaha menenangkan bayi kami. Menit selanjutnya dia membuka mata dan dengan polosnya bertanya "kenapa bantal yang saya gendong?". Pernah pula suatu malam anak kami tiba-tiba menangis dan karena ngantuk berat akibat semalaman begadang, saya hanya menepuk-nepuk pahanya seperti biasa. Tangisnya tak juga mereda hingga membangunkan suami saya yang sedang terlelap. Tanpa membuka mata dia langsung menepuk-nepuk lenganku dan ternyata sejak tadi saya juga hanya menepuk sebuah bantal hehehee.
Selengkapnya.....