Aku memperhatikan laki-laki yang sedang menyantap makanannya itu dengan lahap. Dia tak sadar kalau aku memperhatikannya. Hingga kini, setelah setahun pernikahanku, aku masih tak bisa menerima kenyataan tentang statusku yang telah menjadi seorang istri. Aku bukan istri yang baik karena sampai kini aku masih tak bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri. Aku mengurusi keperluanku dan dia mengurusi dirinya sendiri. Kami memang tinggal serumah tapi tidur di kamar yang berbeda dengan kata lain kalau kami tak pernah bersentuhan layaknya suami istri.

Tak ada yang tahu tentang kehidupan rumah tanggaku karena kami sepakat menutupnya rapat-rapat. Sebisa mungkin aku berusaha tampil tertutup di depannya agar tak mengusik nalurinya sebagai lelaki yang konon gampang tergoda hanya dengan melihat saja. Ia tak pernah memintaku apalagi memaksaku untuk melakukan kewajibanku sebagai seorang istri. Ia menghargai apapun keputusanku karena ia tahu ini adalah pernikahan yang tak pernah kuinginkan.

Pernikahanku memang bukan karena cinta bukan pula karena umurku yang telah menginjak kepala tiga tapi karena aku terjebak dalam rasa terpaksa dan ingin menjaga nama baik keluarga. Saat itu kakak perempuanku yang telah bertunangan, pergi dengan laki-laki lain tepat menjelang hari pernikahannya. Kami semua panik dan mencarinya kemana-mana tapi tak juga menemukannya. Beberapa jam menjelang pernikahan sang calon mempelai datang menghampiriku dan tertunduk di hadapanku. Aku terkejut ketika mendengar permintaannya. Ia memintaku untuk menggantikan posisi Rifa kakakku sebagai mempelai perempuan.

Mulanya aku marah, marah akan kelancangan kak Rifa yang seolah-olah telah menjebakku seperti ini. Aku juga kecewa pada orang tuaku yang juga menginginkan hal yang sama, menikah dengan laki-laki yang sama sekali tak pernah kuimpikan hanya untuk menyelamatkan nama baik keluarga. Dan tentu saja marah pada laki-laki yang tiba-tiba saja datang memintaku untuk menjadi istrinya. Sama sekali tak ada yang mendukungku untuk menolak pinangan itu, pun dengan alasan kalau aku tak mencintainya. Bagi mereka cinta bisa datang karena kebersamaan. Sungguh aku merasa hidupku seolah hancur berantakan, tak mampu membayangkan hidup bersama laki-laki yang tak kucintai sama sekali. Aku tak punya pilihan lain, rasanya aku ingin melarikan diri dari tempat itu tapi aku tak mampu melakukannya. Aku hanya bisa pasrah, pasrah pada takdir yang telah membuatku seperti itu.

Detik-detik menjelang pernikahan itu seperti mimpi buruk bagiku. Aku tak kuasa melawannya terlebih mengingat kedua orang tuaku yang akan menanggung malu jika pernikahan ini batal. Para undangan mulai berdatangan dan akad nikah pun dimulai. Tubuhku serasa kaku sedang hatiku dingin seperti tersiram air es. Kulihat laki-laki itu dengan lancar mengucapkan ijab kabul. Aku sendiri duduk terpaku dengan mulut terkunci sambil terus meneteskan air mata.

Babak baru kehidupan pernikahanpun dimulai. Tak ada malam pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Yang ada hanya gambaran kehidupan antara dua orang asing yang hidup serumah tanpa ikatan cinta. Masih kuingat dengan jelas hari-hari pertama pernikahan kami ketika masih tinggal di rumah orang tuaku. Setiap malam menjelang, aku akan menaruh pisau lipat, gunting dan barang tajam lainnya di dekat tempat tidurku dan aku selalu mengancam laki-laki itu jika dia berani macam-macam padaku.

Beberapa kali aku memintanya untuk menikah lagi dan meninggalkanku tapi Ia selalu menjawab kalau Ia belum siap. Dan bagiku jawabannya itu sangat menyiksaku karena aku benar-benar ingin lepas darinya. Lepas dari kehidupan pernikahan tanpa cinta yang membuatku seakan kehilangan gairah hidup.

Hidup di rumah laki-laki yang tak kucintai seperti penjara bagiku meski Ia tak pernah melarangku untuk keluar rumah dan bergaul dengan teman-temanku. Tak ada istilah rumahku surgaku seperti impianku dulu, yang ada hanyalah rumah yang asing, dingin dan hambar. Rasanya aku ingin pergi dari rumah itu tapi tak tahu harus kemana. Aku tak mungkin kembali ke rumah orang tuaku atau ke rumah famili yang lain.

Hingga suatu hari aku keluar kota karena ada acara reuni bersama teman-teman semasa kuliah dulu. Aku merasakan perasaan yang lain ketika jauh dari rumah suamiku. Seminggu lamanya aku tak berada di rumah itu dan entah kenapa aku ingin sekali pulang. Rasa kesepian yang kerap kurasakan jika berada di rumah laki-laki itu seolah-olah memanggilku untuk pulang.

Tak lama kemudian aku mendapat telepon dari ibuku untuk segera pulang tapi anehnya beliau menyuruhku untuk pulang ke rumah ibu bukannya ke rumah suamiku. Aku langsung menuju rumah ibuku. Disitu kulihat ibu sedang termenung, kutatap matanya ada kelabu disana. Ibu menarik lenganku dan mengatakan kalau Ia ingin mengajakku ke suatu tempat. Aku heran tidak biasanya ibu seperti itu.

Aku merasakan dadaku sesak dan pandanganku kabur oleh pedihnya air mata ketika kulihat gundukan tanah merah dengan nisan yang bertuliskan nama suamiku. Kanker otak yang lama dideritanya telah membawanya pergi untuk selama-lamanya. Aku sendiri tak pernah tahu tentang sakit yang dideritanya itu. Dan catatan terakhir dari suamiku membuatku tak sadarkan diri.

Maafkan aku yang telah memaksamu menjadi istriku. Mungkin kau tak pernah tahu kalau aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini. Namun rupanya hatimu terlalu beku untuk kusentuh hingga rasa bersalah terus menghujamku. Aku hanya ingin kau bahagia….bahagia dengan ketiadaanku.

0 komentar: