Ini adalah kisahku setahun yang lalu, yang jika mengingatnya saja bisa membuat air mataku tumpah. Dan dengan mata berkaca-kaca kutulis pengalaman hidupku ini sekedar berbagi untukmu para wanita.

Memiliki buah hati adalah impian setiap orang yang sudah memasuki jenjang pernikahan. Begitupun denganku, hari-hariku dipenuhi dengan doa agar aku segera mendapat momongan. Dan Allah Maha Besar. Dia mengabulkan doaku karena beberapa lama kemudian aku dinyatakan hamil. Seperti pada umumnya perempuan hamil akan mengalami masa-masa ngidam yang berbeda antara wanita yang satu dengan yang lainnya. Begitupun denganku, meski pengalamanku agak lain. Waktu itu menjelang Hari Raya Idul Fitri dan aku mulai mengalami gejala-gejala layaknya perempuan ngidam. Aku tetap menjalankan ibadah puasa meski hanya sahur dengan ubi dan pisang rebus dan berbuka pun hanya dengan menu itu. Nasi menjadi makanan yang aneh rasanya dilidahku apalagi sayur hijau. Saat itu, dimataku semua jenis sayur terlebih bayam seolah berubah menjadi rumput liar. Melihatnya saja sudah cukup membuatku mual. Jadi tak ada lagi menu nasi dan ikan apalagi sayur hijau.

Sungguh, masa ngidam itu begitu sulit bagiku. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah menguatkan hatiku dalam menjalani masa ngidam ini. Tak ada makanan yang benar-benar bisa kumakan dengan tanpa memuntahkannya kembali. Segala jenis aroma selalu membuatku mual, mulai dari aroma ikan goreng, ikan bakar, asap rokok, bau kulkas yang dibuka, bau sampah dan bau parfum juga semua jenis makanan yang enak dilidah seperti sate, ayam, bakso selalu membuat isi perutku ingin keluar semua.

Aku semakin lemah karena makanan pokok tak juga mau berdamai dengan perutku. Alhasil buah menjadi menu pokok harianku. Dari buah jambu air yang jadi menu makan pagi, siang dan malam. Kemudian berganti apel, jambu monyet yang saat itu lagi musim. Berapa hari kemudian aku hanya bisa makan mentimun dan pepaya. Tak lama makan siangku ditemani buah semangka dan mangga muda kemudian cirkaya, seperti itulah keadaanku selama berminggu-minggu dan sungguh semua itu membuatku lemah.

Hari-hari yang sulit itupun kujalani. Jangankan makanan, air putih pun sering membuatku muntah. Entahlah, mengapa aku seperti itu padahal yang kudengar dari cerita orang kalau masa ngidam tidaklah sesulit itu. Aku pasrah, pasrah menjalani semuanya sendiri tanpa suami. Ah, aku lupa aku juga selalu mual jika berdekatan dengan suamiku. Dimataku seluruh badannya itu penuh dengan asap rokok dan dengan hanya menciumnya dari jauh saja sudah membuat kepalaku pusing dan mual. Jadi aku lebih suka kalau ia tinggal saja di Makassar. Tak ada asupan gizi seimbang saat itu, tak ada protein, asam folat, zat besi karena aku sangat membenci minuman yang bernama susu. Susu hanya membuat perutku seperti diobok-obok. Parahnya suamiku tak yakin akan hal itu, Ia terus mengontrol jadwal minum susu dari jauh dan paling sering alasanku pura-pura lupa. Hingga suatu hari badanku yang kurus semakin lemah. Aku tak mampu berdiri apalagi berjalan karena sejak pagi tak ada makanan yang bisa kumakan. Aku merangkak keluar kamar dan terkulai lemas tak sadarkan diri di depan pintu. Seisi rumah histeris melihatku terkulai tak berdaya seperti itu.

Aku semakin kurus, badanku kian melemah dan mataku makin cekung menyisakan tanda hitam di kelopak mata. Itu artinya aku mulai mengalami gejala dehidrasi. Aku hanya mampu berbaring di tempat tidur tanpa mampu berbuat apa-apa. Mataku hanya mampu menatap daun-daun hijau di luar jendela sambil berharap agar semuanya cepat berlalu. Bagiku detik telah berubah menjadi jam dan jam berubah menjadi hari. Betapa lamanya masa ngidam ini berlalu. Satu yang kusyukuri bahwa aku masih mampu menjalankan kewajibanku untuk shalat lima waktu.

Episode ngidam pun berlalu, alhamdulillah aku sudah bisa makan seperti biasanya meskipun tidak semua jenis makanan bisa kujamah. Tapi tak apalah setidaknya aku bisa makan makanan bergizi dan mulai memaksakan diri untuk minum susu. Hingga usia kandunganku memasuki minggu kesekian, aku memutuskan untuk berangkat ke Makassar. Dengan berat hati aku meninggalkan kampungku mengikuti keinginan suami dan keluarga besarnya. Yah aku pasrah, dalam keadaan seperti itu apalagi menghadapi persalinan nanti, aku ingin sekali berada disamping ibuku.


Hari itu aku merasakan gerakan yang amat lincah dari perutku. Gerakan menendang disana sini nampak menonjol dari luar membuat tanganku refleks mengelusnya. Menjelang sore gerakannya melemah hanya berupa geliat-geliat kecil saja. Malamnya aku mulai mendapatkan tanda bercak darah dan itu menandakan waktu persalinan semakin dekat. Tengah malam aku, suami dan mertua perempuanku ke rumah sakit bersalin. Mulanya aku tenang-tenang saja tapi memasuki ruang bersalin aku merasakan sedih luar biasa. Suami dan mertuaku keluar dari kamar bersalin dan aku ditinggal sendirian. Aku berbaring dengan sedikit ketakutan. Seorang bidan datang melakukan pemeriksaan dalam dan dia mengatakan baru pembukaan satu. Kulihat seorang perempuan merintih-rintih kesakitan, disampingnya ada seorang perempuan paruh baya yang membelai rambutnya dengan sayang dan berusaha menenangakan anaknya yang terus merintih kesakitan. Melihat itu tangisku pun meledak. Seorang bidan datang mendekati dan bertanya mengapa aku menangis. Aku menjawabnya dengan terpatah-patah. Aku bilang kalau aku ingat ibuku. Aku ingin ibuku ada disini menemani proses persalinananku, menguatkanku dan menenangkanku menghadapi semuanya. Bidan itu menyarankan agar aku menelpon ibu. Kudengar suara ibuku di seberang sana mencoba menenangkanku. Rencananya ibuku akan datang beberapa hari lagi berhubung kapal yang akan ditumpanginya agak terlambat.

Malam itu aku tak dapat tidur sekejap pun karena wanita di sampingku terus merintih kesakitan. Hingga pagi menjelang aku tak dapat tidur sama sekali terganggu oleh suara rintihannya yang semakin menjadi. Aku keluar kamar bersalin dan berjalan-jalan di koridor rumah sakit itu. Tak lama kudengar tangisan memecah kesunyian pagi itu. Rupanya perempuan itu telah melahirkan walau dengan kondisi payah akibat kekurangan tenaga. Aku mengucap syukur turut bahagia atas kelahiran bayinya. Hingga siang menjelang aku terus berjalan mengelilingi koridor rumah sakit dan hanya duduk beberapa menit saja. Kata bidan duduk tak baik bagi perempuan yang akan melahirkan dan saran itu kupatuhi. Karena capek aku kembali masuk ke ruang bersalin dan melakukan pemeriksaan dalam lagi. Hasilnya masih pembukaan satu. Aku membaringkan diri di ranjang dan tertidur. Aku terbangun mendengar suara gaduh di luar. Rupanya ada pasien yang akan melahirkan, aku bergegas keluar kamar tak tahan mendengar tangis dan rintihan perempuan itu. Begitulah seterusnya setiap kali ada pasien yang akan melahirkan aku akan keluar dari kamar bersalin itu.

Sudah dua hari aku berada di rumah sakit bersalin itu tapi masih belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Para bidan mengatakan kalau aku terlalu cepat ke rumah sakit. Aku tak tahu sebab ini adalah pengalamanku yang pertama. Aku masih saja tinggal di ruang bersalin dan mondar mandir di ruangan itu. Aku merasa risih sebab setiap kali ada pasien, aku harus menggeser tempat tidurku. Ranjang pertama untuk perempuan yang siap melahirkan, kedua untuk perempuan yang sudah pembukaan sekian. Begitu seterusnya. Sebelumnya aku menempati ranjang kedua sebagai pasien kedua yang masuk tapi karena hanya aku yang masih pembukaan satu maka aku menempati ranjang terakhir. Seiring berjalannya waktu, rasa sakit yang kualami semakin bertambah-tambah tapi masih saja belum ada perubahan pembukaan. Dan karena seringnya pemeriksaan dalam, aku mengeluarkan banyak darah seperti layaknya wanita yang sedang haid. Aku sempat memberitahu bidan tapi mereka hanya menjawab santai, ah itu sudah biasa.

Hari itu aku begitu lelah karena aku menjadi susah tidur sejak berada di rumah sakit. Rasa sakit yang makin bertambah-tambah membuatku tak bisa tidur. Dengan memaksakan diri aku terus berjalan keliling koridor rumah sakit sambil menghentak-hentakkan kaki, konon katanya berjalan membuat kandungan cepat turun dan mudah terjadi pembukaan. Rasa sakit tak membuatku surut untuk terus berusaha. Keringat terus membasahi baju yang kukenakan. Pagi, siang, malam bahkan subuh pun aku berjalan mengelilingi koridor rumah sakit yang sunyi ditemani oleh suami yang terbaring sendirian di bangku koridor. Orang-orang mulai memperhatikanku dan tak sedikit dari mereka menatapku sambil berbisik-bisik. Seorang ibu yang kasihan melihatku berkata kalau aku tak usah memaksakan diri seperti itu karena berjalan tanpa istrahat hanya membuat badan semakin lemah padahal aku harus kuat menghadapi persalinan nanti.

Setiap kali ada pasien, aku akan keluar dari ruang bersalin dan bersandar di dinding sambil berdoa akan keselamatan ibu dan bayinya. Dan tiap kali mendengar tangisan bayi dadaku menjadi sesak menahan isak. Bagaimana tidak, aku yang sudah dua hari di rumah sakit belum juga melahirkan sedang wanita-wanita itu begitu mudahnya melahirkan tak sampai hitungan jam. Mereka hanya disuruh berjalan 10 menit kemudian masuk ke kamar bersalin dan langsung melahirkan. Ya Allah, ada apa dengan diriku. Mengapa belum ada perubahan padahal aku sudah merasakan sakit yang luar biasa. Dalam sedihku, aku kembali berjalan mengelilingi koridor rumah sakit melewati bangsal dan kamar-kamar pasien. Tak jarang aku mengintip bayi-bayi mungil yang sedang tertidur pulas. Dimana ada kamar dengan pintu terbuka maka disitulah aku berdiri menyaksikan makhluk kecil yang masih memerah dan sungguh, pemandangan itu selalu mampu membuat mataku berkaca-kaca.
Hari itu adalah hari Jumat, hari ketiga aku berada di rumah sakit bersalin itu. Rencananya kami akan pulang saja tapi bidan menyarankan untuk tetap tinggal. Aku menurut saja dan akhirnya kami menempati bangsal kosong yang berdebu. Tak apalah daripada harus berada di ruang bersalin yang semakin membuatku tertekan. Menjelang tengah hari aku dipanggil oleh seorang perawat untuk melakukan pemeriksaan. Untuk kesekian kalinya aku melakukan pemeriksaan dalam yang cukup menyakitkan itu dan hasilnya adalah pembukaan tiga. Aku senang sekali mendengarnya. Kata bidan kalau sudah pembukaan tiga maka pembukaan selanjutnya akan segera menyusul dan itu artinya dalam hitungan beberapa jam aku akan melahirkan. Aku kembali bersemangat dan rasa sedihku pun hilang seketika. Pembukaan bertambah artinya rasa sakit yang kurasakan juga semakin sering dan bertambah sakit. Seorang bidan menyuruhku untuk kembali ke ruang bersalin. Wajahku semakin pucat dan keringat bercucuran menahan rasa sakit yang amat sangat karena makin lama kontraksi itu makin sering dan panjang hanya selang beberapa menit saja. Zikirku makin lama makin lemah. Waktu menunjukkan tepat pukul tiga dan itu saatnya aku harus melakukan pemeriksaan lagi. Dalam keadaan normal pembukaan terus meningkat dalam hitungan jam dan harusnya sudah mencapai pembukaan ketujuh. Tapi apa yang dikatakan bidan setelah pemeriksaan itu membuatku kaget. Hasil pemeriksaan adalah pembukaan dua. Masih pembukaan dua. Ya Allah apa yang terjadi padaku bukankah sebelumnya sudah pembukaan tiga? Mengapa kembali ke pembukaan dua. Aku menangis tak tahu harus berkata apa. Salah seorang kerabat meminta bidan untuk menghubungi dokter dan melaporkan keadaanku. Aku harus menunggu beberapa jam sebelum dokter itu datang. Aku dibawa ke ruang periksa untuk USG dan hasilnya sangat mengejutkan. Dokter mengatakan kalau ada dua lilitan di leher bayiku, itulah sebabnya tidak terjadi pembukaan. Dia menyarankan untuk segera operasi sebab kelahiran normal amat beresiko.

Persiapan operasi pun segera dilakukan. Perutku semakin sakit dengan kontraksi yang makin bertambah kuat. Aku terbaring lemah dalam sakit yang luar biasa. Air mataku menetes mengingat sebentar lagi aku akan menjalani proses operasi. Tak pernah terlintas dibenakku akan hal seperti ini. Persalinan normal itulah harapanku tapi dalam kondisi seperti ini aku tak mampu berbuat apa-apa. Ya Allah, jika semua ini adalah teguranMU karena dosa-dosaku yang lalu, maka ampunilah aku. Kini aku pasrah, pasrah pada kehendakNYA. Dalam sakitku aku teringat berbagai macam petuah-petuah untuk memudahkan persalinan, doa-doa dan ayat-ayat suci yang sering kubaca. Semuanya kulakukan untuk mempermudah persalinanku nantinya dan ternyata aku salah. Allah menunjukkan kebesaranNYA. Petuah, doa-doa dan ayat-ayat suci haruslah Lillahi Ta’ala bukan untuk alasan apapun juga termasuk untuk sebuah persalinan. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, itulah intinya karena hidup dan mati seseorang ada di tangan Allah. La Haula Walaa Quwwata Illa Billah, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Aku merasakan ketenangan ketika menyadari kesalahanku dan memohon ampun padaNYA. Dan ketika aku dibawa ke ruang operasi ketakutanku lenyap sudah. Aku telah menyerahkan semuanya padaNYA. Apapun yang terjadi nantinya, aku pasrah. Dalam keadaan setengah sadar kudengar tangis bayiku yang kencang. Alhamdulillah, anakku telah lahir. Belakangan kutahu kalau lilitan di lehernya bukan hanya dua tapi tiga lilitan dan lilitan itu membuat badannya sedikit membiru saat keluar. Puji syukur padaMU ya Allah atas keselamatan yang Engkau berikan pada kami berdua. Senyumku merekah mencoba melupakan kesulitanku yang lalu. Akulah wanita yang sempat menjadi perhatian semua orang di rumah sakit bersalin itu, pasien kesepuluh yang melahirkan setelah tiga hari berada di rumah sakit dan satu-satunya pasien yang melahirkan dengan proses operasi caesar.

Mengenang setahun kelahiran Siti Nabilah Resky

0 komentar: